Cerpen Jembatan yang Hilang
Jembatan yang Hilang
Oleh I Wayan Ardika, S. Pd.
Di
sebuah pedesaan, tinggallah Pito bersama kedua orang tuanya. Pito masih duduk
di kelas 4 SD. Ia adalah anak yang rajin. Setiap hari minggu atau libur
sekolah, ia selalu membantu kedua orang tuanya bekerja di kebun.
Kedua
orang tua Pito bekerja sebagai petani. Mereka menanam pohon kakao, pisang,
kopi, dan ubi-ubian. Hasil panennya mereka jual, kemudian uangnya dipakai untuk
kebutuhan sehari-hari.
Pada
hari minggu, pagi-pagi sekali Pito sudah bangun dari tidurnya. Ia bergegas
untuk ikut ke kebun bersama ayah dan ibunya. Ia tak sabar untuk melihat pohon
pisang yang ditanamnya beberapa minggu yang lalu. "Ibu, ayo kita
berangkat!" ajak Pito. "Ea to, ayo kita berangkat!" jawab ibunya
Pito. Akhirnya mereka berangkat ke kebun.
Kabunnya
terletak di dekat hutan. Jaraknya cukup jauh dari rumah Pito. Mereka berangkat
ke kebun dengan mengendarai sepeda motor.
Setelah
menempuh perjalan yang cukup jauh, akhirnya mereka sampai di kebun. Pitopun
langsung melihat pohon pisangnya yang sudah mulai tumbuh. Pito sangat senang
sekali.
Dari
kejauhan, Pito mendengar suara mesin pemotong kayu dan pohon yang tumbang.
Pitopun bertanya pada ayahnya, "Pak siapa yang menebang pohon di
hutan?" "Itu orang yang sedang membuka lahan baru Pito, untuk
ditanami pohon pisang, kakao dan lainnya," jawab ayah Pito. "Pak guru
bilang, kita tidak boleh menebang pohon sembarangan pak, apa itu sudah ada
izinnya pak?" tanya Pito lagi. "Sepertinya belum Pito, tapi sudah
banyak masyarakat yang membuka lahan disana," jawab ayah Pito.
Pito
melihat hutan di sekitarnya memang sudah tak sebagus dulu. Hutannya sudah mulai
gundul, karena terus ditebang sembarangan. Sebagian besar hutan sudah dijadikan
lahan pertanian oleh masyarakat sekitar. Pito merenung, dan berkata dalam hati,
"Apa yang akan terjadi, bila hutan telah rusak?"
Pertanyaan
itu terus terbenam di benaknya, hingga terbawa dalam mimpi. Ia bermimpi, bahwa
akan terjadi bencana besar, bila hutan yang ada di dekat kebunnya itu terus dirusak.
Keesokan
harinya, ia bergegas berangkat sekolah. Ia tak sabar ingin menceritakan apa
yang dilihatnya kemarin dengan pak guru.
Diperjalanan
Pito bertemu dengan Pani. "Hai Pani, tunggu aku!" teriak Pito. "Hai
Pito, gimana kabarmu?" tanya Pani. "Kabarku baik Pan, yuk kita jalan
sama-sama ke sekolah!" ajak Pito. Mereka berjalan bersama-sama ke sekolah.
Untuk
sampai di sekolah, mereka harus menyebrangi sebuah jembatan yang ada di atas
sungai. Jembatan itu cukup tinggi dan panjang. Di bawahnya mengalir air sungai
yang cukup deras, namun airnya sudah keruh dan terlihat banyak sampah plastik
yang ikut meramaikan aliran sungai. "Pani, untung ada jembatan ini ya,
kalau tidak kita sulit pergi ke sekolah," kata Pito. "Ea to, coba
kalau tidak ada jembatan ini, pasti kita sudah basah, karena harus berjalan di
air," sambung Pani.
Setibanya
di sekolah, mereka sudah ditunggu oleh bapak dan ibu guru. Mereka memberi
salam, kemudian menaruh tasnya di kelas. Setelah itu, mereka melaksanakan
pembersihan di sekitar kelasnya. Kegiatan ini memang rutin dilakukan, sebelum
jam pelajaran dimulai.
"Tet
..., tet ..., tet ..." Bel masuk kelas sudah berbunyi. Semua siswa segera
masuk ke kelas. Pito dan Pani masuk ke kelas 4. Beberapa menit kemudian, datang
pak Budi. Pak budi adalah Guru yang mengajar di kelas IV.
"Selamat
pagi anak-anak! sapa Pak Budi. "Selamat pagi pak guru!" jawab seluruh
siswa. setelah mengecek kehadiran siswa, pak Budi menyampaikan tujuan
pembelajaran. "Hari ini kita akan belajar tentang Tri Hita Karana, keluar bukunya!” kata pak Budi. Semua siswa
mengeluarkan buku pelajarannya.
Pak
Budi bertanya, "Anak-anak, ada yang tahu arti Tri Hita Karana?" Semua siswa terdiam. Tiba-tiba Pito mengangkat
tangannya. "Ya, coba Pito!” seru pak guru.
"Tiga
pak," jawab Pito. "Tiga apa?" tanya pak guru lagi. Pito terdiam
sambil berpikir.
Karena
tidak ada yang menjawab lagi, maka pak guru mulai menjelaskan, bahwa Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok
yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia. "Anak-anak,
ada yang tahu bagian-bagian Tri Hita
Karana?" tanya pak guru. Semua siswa terdiam.
"Kok
semua diam, berarti anak-anak tidak ada yang membaca buku di rumah ya?
pelajaran tentang Tri Hita Karana ada
di buku pegangan yang anak-anak bawa," kata pak guru.
Tiba-tiba
Pani mengangkat tangannya. "Ya, Pani!" suruh Pak guru. "Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan
pak," jawab Pani. "Ya Bagus, tepuk tangan untuk Pani!" seru pak
guru. Semua siswa memberikan tepuk tangan kepada Pani.
Pak
guru menjelaskan lagi, bahwa jika ingin hidup sejahtera dan makmur, maka harus
menerapkan ajaran Tri Hita Karana.
Hubungan kita dengan Tuhan dapat dilakukan dengan rajin sembahyang, mematuhi
ajaran agama, dan menjauhi larangan-larangannya. Hubungan manusia dengan
manusia dapat dilakukan dengan menjaga hubungan yang baik dengan orang lain.
Misalnya dengan menumbuhkan sikap toleransi, tenggang rasa, saling menghargai,
dan tolong-menolong dengan sesama manusia. Hubungan manusia dengan lingkungan
atau alam dapat dilakukan dengan menjaga lingkungan sekitar, misalnya dengan
membuang sampah pada tempatnya, tidak merusak hutan, memilah sampah, dan lain
sebagainya.
Setelah
pak guru selesai menjelaskan, Pito mengangkat tangan, dan menanyakan hal yang telah
menjadi beban pikirannya sejak kemarin. "Pak, apa yang akan terjadi jika
pohon-pohon di hutan terus ditebang?"
"Pertanyaan
yang bagus, ayo anak-anak siapa yang bisa menjawab?" tanya balik pak guru.
Pani
mengangkat tangan dan menjawab, "Akan terjadi banjir dan tanah longsor
pak."
"Bagus
Pani," puji pak guru.
Arya
mengangkat dan menjawab, "Hewan-hewan akan mati pak."
"Ya,
bagus arya," puji pak guru lagi.
Pak
guru menjelaskan lagi, bahwa benar yang dikatakan oleh Pani dan Arya. Jika kita
tidak menjaga lingkungan alam, seperti hutan maka akan terjadi banyak bencana,
seperti banjir dan tanah longsor. Bencana ini tentu akan sangat merugikan
manusia. Kemudian, jika pohon di hutan terus ditebang, maka akan menjadi
gundul, sehingga ekosistem di hutan menjadi terganggu dan menyebabkan
hewan-hewan yang tinggal disana menjadi mati. Untuk itu, kita harus menjaga
hutan, tidak boleh merusaknya.
"Kemarin
saya melihat, hutan di dekat kebun ayah saya sudah gundul pak, bagaimana
caranya agar tidak terjadi bencana?" tanya Pito lagi.
"Pertanyaan
yang bagus, Pito. Ada yang bisa menjawab" tanya balik pak guru.
Arya
memgangkat tangan dan menjawab, "Dengan cara menanam pohon lagi pak."
"Ya bagus, Arya. Kita dapat melakukan reboisasi atau penanaman pohon kembali
pada hutan yang telah gundul. Disamping itu, untuk menjaga kelestarian hutan,
kita dapat melakukan tebang tanam artinya setelah menebang langsung menanam
lagi, tebang pilih artinya menebang pohon dengan memilih pohon yang memang
sudah bisa ditebang atau tidak menebang sembarang,” tambah pak guru.
"Baik
anak-anak, ada yang bertanya lagi?" tanya pak guru. "Tidak pak,"
jawab siswa serentak.
"Baik
kalau tidak ada yang bertanya lagi, bapak akan beriksan soal evaluasi untuk
hari ini. Silahkan kerjakan sendiri!" kata pak guru. "Iya pak,"
jawab semua siswa semangat.
Setelah
mengerjakan soal, seluruh siswa bersiap untuk pulang sekolah. Namun dari
kejauhan terdengar suara gelegar gemuruh yang sangat keras.
"Pina,
suara gemuruhnya keras sekali, nampaknya akan turun hujan lebat," seru
Pito. "Iya Pit, mudah2 nanti kita
tidak kehujanan," jawab Pina.
"Teet,
teet, teet!" Bel pulang pun berbunyi. Saat bersamaan hujan mulai turun.
Lama-kelamaan tambah deras.
Pito
dan temen-temennya tidak bisa pulang. Mereka menunggu di dalam kelas, berharap
hujan segera reda. Namun hujan tak kunjung reda, malah tambah deras. Sesekali
ditemani suara petir yang menggelegar saling bersahutan. Membuat Pito dan
teman-temannya takut. Pak Budipun datang menenangkan mereka. Pak Budi mengajak
mereka bertanya jawab, "Anak-anak siapa yang tahu, mengapa bisa terjadi
hujan?" Tanya Pak Budi.
Setelah
lama berpikir, Pani mengacungkan tangan kemudian menjawab, "Hujan terjadi
karena adanya penguapan air laut pak."
"Bagus
Pina!" Puji pak guru. "Ada yang bisa menjelaskan lebih rinci?" tanya
pak guru lagi. Semua siswa berpikir, tetapi tidak ada yang menjawab lagi.
Akhirnya
pak guru menjelaskan, bahwa hujan terjadi memang karena penguapan air laut.
Namanya siklus air. Dimulai dari penguapan air, baik yang ada di laut, danau,
maupun sungai akibat panasnya matahari, kemudian uap membentuk awan, dan lama-kelamaan
awan menjadi berat, dan akhirnya jatuh ke bumi sebagai hujan.
Di
luar kelas Pina melihat kilatan cahaya petir, yang sesaat kemudian terdengar
suara gemuruh Guntur. “Krug ….” Semua siswa menutup telinganya ketakutan.
Pina
bertanya kepada pak Budi, “Pak mengapa bisa terjadi petir dan Guntur?”
“Bagus
sekali pertanyaan Pina, ada yang bisa jawab?” tanya balik pak guru.
“Tidak
tahu pak,” celetuk Arya.
“Baik
kalau tidak tahu, bapak akan jelaskan, dengarkan baik-baik!” kata pak Budi.
“Petir terjadi akibat awan bergerak terus-menerus secara teratur. Pergerakan
ini membuat awan berinteraksi dengan awan lainnya, sehingga muatan yang negatif
akan berkumpul pada satu sisi saja dan muatan positif pada sisi lainnya. Jika
perbedaan energi potensial antara awan dan bumi cukup besar, maka akan terjadi
pembuangan muatan negatif dari awan ke bumi agar terjadi keseimbangan. Saat
muatan negatif mampu menembus ambang batas isolasi udara, maka akan terdengar
suara Guntur. Nah, bagaimana dengan petir? Petir lebih dahulu daripada Guntur.
Hal ini karena kecepatan cahaya lebih cepat daripada kecepatan suara,” jelas
pak guru.
“Bruk…!”
Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari belakang sekolah. Merakapun keluar
untuk melihatnya. “Pak guru, ada banjir!” teriak Pito. “Iya, anak-anak segera
mencari tempat yang aman” kata pak guru. Mereka segera pergi ke rumah pak guru,
yang letaknya tidak jauh dari sekolah.
Banjir
terjadi akibat sungai yang ada di dekat sekolah meluap. Aliran sungai tersumbat
oleh banyaknya sampah dan batang pohon. Banyaknya sampah disebabkan oleh
perilaku masyarakat sekitar yang sering membuang sampah ke sungai. Sedangkan
batang pohon berasal dari tanah longsor dan batang pohon yang ditebang
sembarangan.
“Pito…!
Pito…! Terdengar suara Arya dari kejauhan. “Kenapa Ar?” Tanya Pito. “Gawat…!
Gawat…! Jawab Arya sambil terengah-engah. “Gawat kenapa Ar?” Tanya Pani ikut
penasaran. “Jembatannya telah hilang!” seru Arya. “Jembatan jalan kita pulang
ke rumah Ar?” Tanya Pito lagi. “Iya Pit, sekarang kita tidak bisa pulang ke
rumah, jawab Arya cemas. “Wah bagaimana ini?” Pani mulai resah.
“Tenang
anak-anak, malam ini tidur di rumah bapak saja dulu, nanti bapak coba telepon
orang tua kalian ya!” kata pak guru menenangkan. “Terima kasih pak guru,” jawab
serempak Pito, Pani, dan Arya.
Jembatan
penghubung rumah Pito, Pani, dan Arya dengan sekolah telah hilang. Putus
diterjang derasnya aliran sungai dan batang pepohonan. Selain itu, banyak rumah
warga yang menjadi korban. Termasuk tembok sekolah mereka. Warga yang terkena
dampak banjir telah dievakuasi ke tempat yang aman. Beberapa warga tak sempat
lagi menyelamatkan harta bendanya. Semua telah hanyut terbawa arus sungai.
Rasa
takut, sedih, cemas bercampur di wajah Pito. Ia berharap semua akan baik-baik
saja. Dalam benaknya berpikir, bagaimana
caranya ia akan sekolah jika tidak ada jembatan? Tentu ia harus berjalan
menyebrangi sungai dan membuat pakaiannya basah. “Sudahlah Pito, jangan melamun
terus, semua akan baik-baik saja, kamu aman bersama bapak,” kata pak Budi yang
memecah lamunan Pito. “Iya pak, hanya saya cemas akan keadaan kedua orang tua saya,”
kata Pito. “Tadi bapak sudah telepon ayahmu, mereka baik-baik saja. Banjirnya
tak sampai ke rumahmu. Bapak juga sudah bertahu mereka, bahwa kamu baik-baik
saja disini. Besok ayahmu akan menjemputmu dan yang lainnya,” tambah pak Budi. Jawaban pak Budi, membuat hati Pito sedikit
tenang.
Tak
terasa waktu sudah malam, namun hujan belum juga reda. Malam menjadi semakin
gelap, ketika listrik ikut mati. Menambah ketakutan Pito. “Anak-anak, tidak
usah takut, kalian aman disini,” kata pak guru menghibur. “Iya pak, semoga
besok hujannya sudah reda,” jawab Pani. “Iya, mari kita berdoa bersama, agar
besok semua baik-baik saja, dan kita dijauhkan dari bencana,” ajak pak guru.
Merekapun berdoa bersama, memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Malam
sudah sangat larut, mata Pani masih terjaga. Ia tak bisa tidur. Perasaannya
kacau, takut akan banjir yang datang.
Tak
terasa, ayam sudah berkokok. Pertanda hari sudah pagi. Pito, Pani, dan Arya
bergegas bangun dan melihat di sekitar. Namun hujan rintik-rintik masih menghiasi
pemandangan mereka.
Di
kejauhan terlihat sampah berserakan dan batang pohon besar yang menyumbat sungai.
“Wah, ternyata ini dampaknya, jika kita tidak menjaga lingkungan alam,” kata
Pito. “Ea Pit, ini menjadi teguran untuk kita, agar terus menjaga kelestarian
lingkungan,” sambung Pani. “Betul Pan, o ea, bagaimana keadaaan sekolah kita
ya? Ayo kita lihat!” Ajak Arya. “Ayo!” jawab Pito dan Pani.
Mereka
bergegas melihat keadaan sekolah. Setibanya disana, mereka melihat tembok
sekolah yang sudah roboh dan ruang kelas yang penuh dengan lumpur. Banjir
kemarin telah membuat sekolah mereka rusak dan kotor.
Di
ruang guru, sudah ada Pak Budi yang sedang merapikan berkas-berkasnya. “Pak
guru, bagaimana ini, sekolah kita rusak dan kotor?” tanya Pito. “Iya anak-anak,
terpaksa sekolah kita liburkan dulu, sampai situasi aman kembali,” jawab Pak
Budi. “Iya pak, jawab Pito sedih.
“O
ea, orang tua kalian belum datang menjemput?” tanya Pak Budi. “Belum pak,”
jawab Pani. “Anak-anak jangan pulang sendiri ya, karena jembatannya sudah
putus, tadi bapak sudah telepon orang tua anak-anak untuk menjemput kesini,”
kata Pak Budi. “Iya pak,” jawab mereka serempak.
Tak
lama kemudian, Bapak Pito datang. “Pito, kamu tidak apa-apa?” tanya Bapak Pito.
“Syukurlah tidak pak, kami aman ada di Rumah Pak Budi,” jawab Pito.
Ayah
Pito mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Budi. “Terima
kasih banyak pak, bapak sudah menjaga Pito dan yang lainnya,” kata Bapak Pito.
“Sama-sama pak, sudah menjadi kewajiban saya sebagai guru dan orang tua mereka
di sekolah,” jawab Pak Budi.
Pito,
Pani, dan Arya pulang bersama ayah Pito. Dalam perjalanan, mereka melihat
banyak rumah yang rusak. Banyak sepeda motor dan mobil yang tertimpa sampah dan
lumpur. Sungguh pemandangan yang tidak sedap dipandang mata.
Mereka
juga melihat beberapa anggota dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
yang membantu para korban banjir. “Pak, apakah rumah kita terkena banjir?”
tanya Pito penasaran. “Kita patut bersyukur kepada Tuhan nak, rumah kita aman,
termasuk rumah Pani dan Arya,” jawab ayah Pito. “Syukurlah pak,” jawab Pani. “Kita
juga patut bersyukur, karena banjir kali ini tidak menyebabkan korban jiwa,
hanya korban materi saja,” sambung Ayah Pito.
Tak
terasa mereka telah sampai ditepi jembatan yang telah putus. Mereka menatap
aliran sungai yang sudah mulai tenang. “Pak, apa tidak apa-apa kalau kita
menyebrangi sungai ini?” tanya Pito takut. “Tenang saja Pito, airnya sudah
tenang, kita akan aman menyebrang, ayo bapak gendong!” kata ayah Pito sambil
menggendongnya. Merekapun menyebrang dengan digendong oleh ayah Pito satu per
satu.
Akhirnya
Pito dan teman-temannya sampai di rumah masing-masing. Mereka segera
membersihkan diri dan beristirahat, sambil menceritakan pengalaman mereka pada
keluarganya.
Tiga
hari kemudian, hari sudah nampak cerah. Pito dan teman-temanya mulai bersekolah
lagi. Perjalanan mereka ke sekolah nampak berbeda. Tak ada lagi jembatan yang
biasa mereka lalui setiap pagi dan pulang sekolah. Mereka harus terbiasa dengan
jembatan darurat yang terbuat dari bambu. Orang tua dan masyarakat sekitar
telah bergotong royong untuk membuatnya.
Setibanya
di sekolah, mereka masih melihat kondisi sekolah yang berantakan. Melalui
arahan pak guru, seluruh siswa melakukan kerja bakti untuk membersihkan kelas
dan lingkungan sekolah. Mereka rindu akan sekolah mereka yang bersih, asri, dan
nyaman untuk belajar.
Beberapa
hari kemudian, sekolah sudah menjadi bersih kembali, hanya temboknya yang masih
rusak. Pak guru mengatakan akan memperbaikinya jika sudah ada dana dari
pemerintah.
“Selamat
pagi!” tiba-tiba ada suara seorang laki-laki yang menyapa. “Selamat Pagi pak”
Pito membalas salamnya. “Bapak kepala sekolah ada?” tanya bapak itu. “Ada pak,
mari saya antar,” jawab Pito, kemudian mengantarnya ke ruangan bapak kepala
sekolah. Ternyata bapak itu adalah bapak kepala desa. Ia ingin menyampaikan
program kerja bakti membersihkan sampah plastik di sungai dan reboisasi hutan.
Ia mengaharapkan pihak sekolah dapat berpastisipasi dalam kegiatan tersebut.
Ketika
akan pulang sekolah, bapak kepala sekolah memberikan pengumuman, bahwa besok seluruh
warga sekolah akan mengikuti kegiatan kerja bakti membersihkan sampah plastik
di sungai dan reboisasi di hutan dekat sekolah. Untuk itu, siswa dari kelas 4,
5, dan 6 diharapkan membawa karung bekas untuk tempat sampah yang dipungut.
“Besok anak-anak bersama bapak/ibu guru wali kelas bertugas memungut sampah
plastik yang ada dipinggir sungai, sementara beberapa guru yang lain bersama
bapak bertugas menanam pohon,” kata pak kepala sekolah.
Setelah
memberikan pengumuman, seluruh siswa dipulangkan. Pito, Pani, dan Arya pulang
dengan semangat. Meraka sudah tidak sabar menceritakan hal ini kepada orang tua
mereka.
Setibanya
di rumah, Pito langsung bercerita pada ayahnya, “Ayah besok saya dan
teman-teman di sekolah, akan mengikuti kegiatan kerja bakti membersihkan sungai
dari sampah plastik.” “Wah bagus itu, menjaga kebersihan lingkungan, terutama
sungai dapat mencegah banjir,” kata ayah Pito. “Bapak besok juga ikut menanam
pohon di hutan,” sambung ayah Pito. “Wah, semoga hutannya jadi hijau lagi ya
pak,” kata Pito.
Keesokan
harinya, Pito dan temen-temennya melakukan kerja bakti dengan semangat.
Berbekal karung bekas yang telah dibawa dari rumah, mereka memungut sampah
plastis yang ada di pinggir sungai. “Semoga nanti tidak terjadi banjir lagi
ya,” kata Pito sambil memunguti sampah plastik yang menghalangi langkahnya.
“Amin, namun kita harus selalu menjaga lingkungan, salah satunya dengan tidak
membuang sampah sembarangan, terutama di selokan dan sungai,” kata Pani.
“Selain itu, kelestarian hutan juga harus tetap dijaga,” sambung Arya. “Ea
betul, kerja bakti seperti ini harus sering kita lakukan, agar sungai menjadi
bersih,” tambah Pito.
Sejak
saat itu, warga sekolah dan warga desa rutin melakukan kerja bakti membersihkan
lingkungan setiap satu bulan sekali. Disamping itu, pemerintah desa juga telah
membuat peraturan tentang lingkungan, yaitu masyarakat desa diharuskan memilah
sampah organik dan sampah non organik, sehingga mudah untuk dimanfaatkan
kembali. Sampah organik dapat diolah menjadi pupuk kompos yang berguna untuk
tanaman, sedangkan sampah non organik seperti botol bekas dapat didaur ulang
atau dijadikan bahan kerajinan tangan. Selain itu, masyarakat juga tidak boleh
membuang sampah ke selokan atau ke sungai. Apabila ada yang terbukti melanggar,
maka akan diberikan sanksi.
Seiring
berjalannya waktu, masyarakat menjadi terbiasa untuk menjaga lingkungan. Sungai
menjadi bersih dan sehat. Banjirpun tidak datang lagi. Pito dan teman-temannya
dapat belajar dengan tenang.
Beberapa
bulan kemudian, jembatan yang dulunya hilang dibawa arus sungai telah selesai
diperbaiki. Akhirnya Pito dan teman-temannya dapat ke sekolah dengan lancar,
tanpa harus melalui jembatan darurat lagi. Setiap Pito melewati jembatan itu,
ia selalu mengingat banjir yang telah membuat jembatan, sekolah, dan beberapa
rumah warga di sekitarnya rusak. Ia pun selalu mengingat pelajaran yang
diberikan oleh Pak Budi, yaitu Tri Hita
Karana. Ia selalu berusaha untuk menerapkannya. Setiap hari ia selalu rajin
sembahyang, memohon keselamatan untuk semua orang. Memohon agar tidak terjadi
bencana lagi (Parahyangan). Ia juga
selalu berbuat baik terhadap teman-teman, orang tua, dan yang lainnya (Pawongan). Ia juga selalu menjaga
lingkungan, mulai dari lingkungan rumah, dengan menjaga kebersihan rumah,
memilah sampah, dan ikut menanam pohon pada hutan yang telah gundul. Ia juga
rajin mengikuti kerja bakti untuk membersihkan sampah plastik di sungai. Di
sekolah, ia juga rajin membersihkan lingkungan sekolah (Palemahan).
Dengan
menerapkan ajaran Tri Hita Karana,
Pito berharap terjadi kedamaian dan kemakmuran. Bencana banjir tidak datang
lagi dan jembatan penghubung rumahnya dengan sekolah tidak kembali hilang.
Posting Komentar untuk "Cerpen Jembatan yang Hilang"
Mohon berkomentar dengan menggunakan akun google. Komentar yang Anonim akan kami hapus, karena kami anggap Spam. Terima kasih telah berkunjung, jangan lupa ikuti Info Dunia Edukasi untuk mendapat update terbaru.